Kamis, 12 Agustus 2021

MANTRAM PUJA PENGASTAWA PURA DALEM BESERTA ARTINYA

 

MANTRAM PUJA PENGASTAWA KHAYANGAN STAWA BESERTA ARTINYA

MANTRAM PUJA PENGASTAWA TIGA GURU STAWA ATAU BHATARA GURU STAWA UNTUK DI MERAJAN BESERTA ARTINYA

 

MANTRAM PUJA PENGASTAWA CANDRA STAWA BESERTA ARTINYA

MANTRAM PUJA PENGASTAWA SARASWATI STAWA BESERTA ARTINYA

 

MANTRAM PUJA PENGASTAWA AGNI/BRAHMA STAWA BESERTA ARTINYA

 

MANTRAM PUJA PENGASTAWA PERTIWI STAWA BESERTA ARTINYA

Rabu, 21 Juli 2021

MANTRAM PUJA PENGASTAWA AKASA STAWA BESERTA ARTINYA

 

MANTRAM PUJA PENGASTAWA SURYA STAWA BESERTA ARTINYA

 

KARMA BAIK KENDARAAN TERMEWAH MENUJU ALAM PENANTIAN (SWAH LOKA)

Ketika melihat sebuah Upacara Ngaben sampai menghabiskan ratusan juta dan bahkan milyaran apa yang terlintas di benak anda?

Apakah dengan upacara besar tersebut sudah pasti menempatkan orang yang meninggal tersebut pada posisi yang paling sempurna di alam penantian?

Alam penantian, begitulah kita menyebutnya! Kenapa alam penantian? Karena menurut keyakinan Agama Hindu, selama belum Moksah maka akan terlahir kembali untuk membayar hutang Karma.

Sesungguhnya besar dan kecilnya sebuah Upacara harus dilihat dari kemampuan dari pelakunya. Dan khusus untuk Upacara Ngaben, besar dan kecilnya tidak menentukan bagus dan tidaknya posisi dari orang yang meninggal.

Menurut keyakinan Agama Hindu, ada alam lain yang akan menanti setelah seseorang menutup usia. Alam yang termaksud adalah Bhur Loka, Bhuah Loka, dan Swah Loka.

Bhur Loka adalah tempat bagi Sang Atman ketika Badan Kasar (Stula Sarira) belum kembali ke masing-masing unsurnya (unsur-unsur Panca Maha Buta).

Bhuah Loka adalah tempat bagi Sang Atman ketika unsur-unsur Panca Maha Buta sudah hilang, yang tersisa masih Sukma Sarira (Badan Astral) dan Antah Karana Sarira (Badan Halus).

Untuk mencapai Swah Loka, Badan Astral (Sukma Sarira) harus kembali kepada unsurnya. Swah Loka merupakan alam penantian bagi Antah Karana Sarira (Badan Halus), bisa dikatakan Surga dan Neraka. Disini atman ditempatkan sesuai dengan Karmanya, dan menunggu untuk terlahir kembali (Punarbawa) sesuai dengan Karmanya.

Upacara Ngaben adalah sebuah Upacara yang bertujuan untuk pengembalian unsur-unsur Panca Maha Buta (Badan Kasar). Dalam hal ini Upacara Ngaben berfungsi untuk membersihkan Stula Sarira.

Selain itu Upacara Ngaben juga sebagai bentuk penghormatan dan bhakti preti sentana (keturunan) kepada yang Meninggal.

Setelah Upacara Ngaben ada satu lagi proses yaitu Upacara Mamukur yang bertujuan untuk membersihkan Badan Astral (Sukma Sarira).

Upacara Ngaben dan Upacara Mamukur tentu sangat membantu, misalnya jika yang meninggal hanya ditanam jasatnya, maka proses pengembalian unsur-unsur Panca Maha Buta akan berlangsung lama, dalam proses tersebut Sang Atman akan lama berada di Bhur Loka.

Begitu juga yang akan terjadi jika tidak dibantu dengan Upacara Mamukur, Sang Atman akan lama berada di Bhuah Loka dalam proses pengembalian Badan Astral.

Namun apakah dengan memberikan Upacara besar dapat memberikan tempat yang bagus bagi Sang Atman? TENTU TIDAK.

Semua itu kembali kepada Karma masing-masing. Jika memang Karmanya Baik, bahkan tanpa proses Upacara Ngaben dan Upacara Mamukur Sang Atman bisa mencapai Alam Penantian (Swah Loka) dan mendapatkan tempat yang baik di Alam Penantian dalam menunggu proses Punarbawa.

Yang perlu diingat dan ditekankan disini adalah Upacara Ngaben dan Upacara Mamukur hanya bersifat membantu mempercepat proses, namun hasil dan tempat yang akan didapatkan oleh Sang Atman adalah kembali kepada Karmanya.

Jadi tidak ada istilah semakin besar tingkatan Upacara yang diambil, maka semakin bagus Sang Atman mendapatkan tempat di Alam Penantian! Semua itu kembali kepada Karma masing-masing.

SEMAKIN BANYAK MENABUNG KARMA BAIK SELAMA HIDUP, SEMAKIN BAGUS TEMPAT DI ALAM PENANTIAN.

Terlahir di dunia ini adalah untuk membayar Hutang Karma, jadi jangan bikin Hutang lagi, dan usahakan untuk menabung Karma Baik.

Salam Rahayu.

ARTI DAN MAKNA POROSAN

Porosan merupakan simbul pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Utpeti (Pencipta), Sthiti (Pemelihara), dan Pralina (Pelebur).

Porosan terdiri dari:

Pinang sebagai lambang pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma (Pencipta).

Sirih sebagai lambang pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara).

Kapur sebagai lambang pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa (Pelebur).

Plawa atau Daun sebagai pembungkusnya, didalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Plawa atau Daun merupakan lambang dari fikiran yang hening. 

Plawa atau Daun memiliki makna agar dalam melakukan pemujaan didasari dengan menumbuhkan fikiran yang suci dan hening, karena fikiran yang tumbuh dari kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaruh buruk dan nafsu duniawi.

Porosan merupakan lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pemujaan terhadap Sang Hyang Tri Murti sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia sehari-hari sebagai hal pokok, yaitu:

Pertama: Tercipta dan tumbuhnya segala sesuatu, baik fisik material maupun sepiritual.

Kedua: segala hal yang sudah tercipta dapat terpelihara dengan baik.

Ketiga: dapat mengatasi dan jika mungkin meniadakan sesuatu yang buruk dan menghambat.

Demikianlah mengapa dalam setiap upakara, Porosan selalu menjadi bahan pokok yang tak terlewatkan. Porosan bermakna untuk memohon tuntunan dan kekuatan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.

Salam Rahayu.

FUNGSI DAN MAKNA PERAYAAN TUMPEK KANDANG

Umat Hindu khususnya Umat Hindu di Bali mungkin sudah tidak asing dengan kata Tumpek. Tumpek merupakan Awal dan Akhir karena sangat erat kaitannya dengan kalender Hindu Bali. Terdapat sebanyak 30 Wuku, dan juga ada siklus Saptawara dan Pancawara di dalam kalender Bali. Antara Saptawara terakhir (Saniscara) bertemu dengan Pancawara terakhir (Kliwon) inilah disebut dengan Tumpek yang datangnya setiap 35 hari. Akhir itulah sebagai penanda akan memasuki awal dari siklus baru dalam kalender Bali.

Tumpek Kandang sering juga disebut Tumpek Wewalungan atau sering juga disebut Tumpek Uye, merupakan hari suci pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau yang lumrah disebut dengan Rare Angon.

Jadi sudah cukup jelas bahwa perayaan hari Tumpek Kandang bukanlah untuk memuja binatang, melainkan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau sering juga disebut Sang Pengembala Mahluk.

Didalam Lontar Sunarigama dinyatakan sebagai berikut:

"Saniscara Kliwon Uye Pinaka Prakertining Sarwa Sato".

Artinya:

"Pada hari saniscara kliwon uye hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan".

Secara sekala hewan sangatlah penting dan berguna untuk kehidupan manusia, baik itu membantu dalam kegiatan kehidupan manusia maupun sebagai sumber pangan.

Hindu mengajarkan cinta kasih ke semua mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan itulah salah satu hal yang melandasi mengapa diadakan perayaan Tumpek Kandang.

Secara niskala perayaan Tumpek Kandang berfungsi untuk memohon agar kita sebagai manusia dijauhkan dari sifat-sifat buruk kebinatangan yaitu Rajas atau sifat ambisi, dan Tamas atau sifat malas. Tentunya bukan untuk menghilangkan, akan tetapi mengembalikan ke porsi yang semestinya dan tentunya baik untuk kehidupan.

Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan:

"Yapwan Tamah Magong Ring Citta, Ya Hetuning Atma Matemahan Triak, Ya Ta Dadi Ikang Dharmasadhana Denya".

Artinya:

"Apabila tamah yang besar pada citta, itulah yang menyebabkan atma menjadi binatang, ia tidak dapat melaksanakan dharma olehnya".

Dari kutipan Lontar diatas, maka diharapkan manusia terbebas dari sifat-sifat buruk binatang agar mampu menjalankan dan mengamalkan Dharma dalam kehidupan. 

Salam Rahayu.

TATACARA NGATURANG PIODALAN ALIT (SAYUT PENGAMBEAN) DI MERAJAN UNTUK KALANGAN UMUM

TATACARA NGATURANG PIODALAN:

1. Tirta Wangsuhpada

Letakkan tempat tirta yang sudah diisi air dan tempat Wija/Bija yang sudah diisi beras pada Pelinggih Kamulan.

2. Ambil Sikap Duduk

Untuk yang laki-laki sebaiknya ambil sikap duduk bersila (padmasana) sedangkan untuk yang perempuan sebaiknya ambil sikap bersimpuh (bajrasana).

3. Memohon agar proses Piodalan bisa berjalan lancar.

OṀ Awignam Astu Namah Siddham

OṀ Siddhir Astu-ya Namaḥ Svāhā

4. Membersihkan kedua tangan atau Kara Sodana.

OṀ Śuddhā Māṁ Svāhā  (Tangan Kanan)

OṀ Ati Śuddhā Māṁ Svāhā  (Tangan Kiri)

5. Pranayama berfungsi untuk menenangkan diri dan berkonsentrasi.

Tarik nafas (Puraka), tahan napas (Khumbaka), keluarkan nafas (Recaka) (3x)

FUNGSI DAN MAKNA BANTEN BYAKALA ATAU BYAKAONAN BESERTA MAKNA BAGIAN-BAGIANNYA

Banten Byakala atau Byakaonan atau sering juga disebut Bayekala atau Bayekaonan mungkin sudah tidak asing lagi dikalangan umat Hindu, khususnya umat Hindu di Bali. Banten Byakala atau Byakaonan merupakan Banten yang difungsikan sebagai pangresikan (pembersihan), dimana Banten Byakala/Byakaonan ini tergolong dalam bentuk pembersihan secara lahiriah.

Banten Byakala dan Byakaonan pada prinsipnya memiliki fungsi sama yaitu sebagai simbol pembersihan, akan tetapi peruntukannya berbeda. Dimana Banten Byakala diperuntukkan untuk manusia sedangkan Banten Byakaonan untuk Dewata atau Palinggih dan tempat suci.

Perbedaan antara Banten Byakala dengan Banten Byakaonan terletak pada eteh-eteh (sarana) pabersihannya, dimana pada Banten Byakala menggunakan isuh-isuh sedangkan pada Banten Byakaonan menggunakan payasan pabersihan.

KESADARAN YADNYA DAN KONSEP YADNYA

Ketika mendengar kata Yadnya, apa yang terlintas dalam benak anda? Apakah “Gede Aturan Maka Gede Pinunas?” atau Besar yang kita haturkan maka besar pula yang akan kita dapat?

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai Kesadaran Yadnya, ada hal penting yang perlu diketahui ketika kita hendak melaksanakan Upacara Yadnya, yaitu mengenai konsep Yadnya itu sendiri adalah sebagai berikut:

“Agung ikang Upakara/Banten alah dening Puja Mantra” artinya: Seberapa besarpun Upakara/Banten yang dibuat tidak akan sempurna tanpa Puja Mantra, dalam hal ini Puja Mantra berfungsi sebagai pelengkap, sebab dalam membuat Upakara/Banten bisa saja ada kekurangan atau kelebihan dalam prosesnya pembuatannya, oleh karena itu dalam pelaksanaan Upacara Yadnya diperlukan Pemangku untuk nganteb atau Ida Sulinggih sebagai pemuput Upacara, terutama untuk upacara menengah keatas dimana menggunakan cukup banyak Upakara/Banten.

VIDEO TRADISI SAKRAL NGEREBONG MANGKU DI PURA PETILAN DESA PAKRAMAN KESIMAN (2 MEI 2021)

 

VIDEO TRADISI NGEREBONG DESA ADAT PAKRAMAN KESIMAN (2 MEI 2021)

 

MAKNA PENAMPAHAN GALUNGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUGU KARANG ATAU SEDAHAN KARANG

Penampahan Galungan tentunya sangat erat kaitannya dengan Hari Raya Galungan, yaitu tepat sehari sebelum galungan pada hari selasa atau anggara wuku dungulan.

Apa sebenarnya makna dari Penampahan Galungan?

Penampahan Galungan merupakan hari turunnya Sang Kala Tiga, yaitu: Kala Galungan, Kala Dungulan, dan Kala Amangkurat yang kemudian berstana di Penunggun Karang/Sedahan Karang.

Kenapa di Penunggun Karang/Sedahan Karang?

Penunggun Karang/Sedahan Karang merupakan tempat berstananya Sang Kala Raksa, artinya segala yang bersifat Bhuta dan Kala berstana di Pelinggih Kala Raksa yang sering disebut Penunggun Karang atau Sedahan Karang.

MAKNA SUGIHAN JAWA DAN SUGIHAN BALI

Sugihan dikenal sebagai Upacara di Bali yang masih ada kaitannya dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan, ada dua Sugihan yaitu Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Ketika mendengar kata Sugihan Jawa dan Sugihan Bali apa yang terlintas di benak anda?

Masyarakat Hindu Bali sudah tidak asing dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, namun sepertinya masih ada beberapa yang belum paham akan makna sebenarnya dari kedua Sugihan tersebut. 

Sugihan Jawa atau sering juga dikenal dengan Sugihan Jaba adalah sebuah kegiatan rangkaiang upacara dalam rangka menyucikan Bhuana Agung (makrokosmos) atau Alam Semesta. Sugihan Jawa ini jatuh pada hari Kamis Wage Wuku Sungsang.

Kata Sugihan Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa berasal dari kata Jawi yang dalam Bahasa Jawa kuno memiliki arti luar, begitu juga Jaba dalam Bahasa Bali yang memiliki arti sama yaitu luar. 

VIDEO CARA MUDAH NGASTORI ATAU NGADEGIN PUSPA ATAU SEKAH

 

Rabu, 17 Maret 2021

TATACARA OTONAN ATAU MAOTON UNTUK KALANGAN UMUM BAGIAN 2

16. Ngaturang Pasucian (yang ngotonin)

OṀ Ngastuti Pakulun Paduka Bhatara, Hulun Angaturaken Sarining Pasucian, Sesarik, Susur, Keramas, Mwang Lengewangi Ring Jeng Pakulun Padhuka Bhatara.


17. Ngayab Pejati Ulonin Banten. (yang ngotonin)

OṀ Ngastuti Pakulun Paduka Bhatara Sang Hyang Trio Dasa Saksi, Hulun Angaturaken Pejati Dening Peras Sodan Daksina Muwang Saruntutannya, Mangde Ledang Paduka Bhatara Pada Anodya, Anyaksinin Mwang Amukti Sari Saturan Hulun.


OṀ Dewa Trepti Laksana Ya Namah

OṀ Dewa Bhokta Laksana Ya Namah Swaha


18. Ngayab Kukus Harum (Dhupa)

OṀ ANG Brahmā Sandhya Namo Namaḥ

OṀ UNG Viṣṇu Sandhya Namo Namaḥ

OṀ MANG Īśvara Sandhya Namo Namaḥ


19. Mesirat (Toya Ida/Toya Anyar)

OṀ Ksama Sampurna Ya Namah Swaha


20. Ngayab Banten Otonan. (yang ngotonin)

OṀ Ngastuti Pakulun Paduka Bhatara Sang Hyang Iswara (Sesuaikan Dewaning Oton Berdasarkan Hari), Sang Hyang Pengemit Tuwuh, Sang Hyang Penunggun Urip, Bhatara Guru, Bhatara Kawitan, Kaki Bhagawan Penyarikan Nini Bhagawan Penyarikan, Kaki Siwagotra Nini Siwagotra, Kaki Semaya Nini Semaya, Kaki Samantra Nini Samantara, Hulun Angaturaken Pawetonan Dening Pengambean, Peras, Soda, Sesayut, (Sebutkan Semua Banten Yang Dibuat), Muwang Saruntutannya, Mangde Ledang Paduka Bhatara Pada Anodya, Anyaksinin Mwang Amukti Sari Saturan Hulun. Alit Angaturaken, Ageng Pamilakunya, Dumogi Sang Paweton (Sebutkan Nama) Ngemolihang Kerahajengan Kerahayuan.


OṀ Dewa Trepti Laksana Ya Namah

OṀ Dewa Bhokta Laksana Ya Namah Swaha

TATACARA OTONAN ATAU MAOTON UNTUK KALANGAN UMUM BAGIAN 1

 BANTEN OTONAN TUMPENG 5:

• Banten Pejati Ulonin Banten (Upasaksi)

• Pengambean (Tumpeng Kalih)

• Peras (Tumpeng Kalih)

• Dapetan (Tumpeng Siki)

• Soda

• Sesayut

• Byakala atau Biyakaonan (Pangresikan)

• Segehan


PERALATAN:

• Tempat Tirta dan Wija/Bija

• Tirta Ida (jika tidak ada, gunakan Toya Anyar)

• Dhupa

• Bunga

• Caratan

• Jembung

• Petabuh


TATACARA NGATURANG OTON:

1. Tirta Wangsuhpada

Letakkan tempat tirta dan tempat Wija/Bija yang sudah diisi air di Pelinggih Kamulan atau di Ulonin Banten.


2. Ambil Sikap Duduk Atau Berdiri

- Yang maoton ambil sikap duduk, untuk yang laki-laki sebaiknya ambil sikap duduk bersila (padmasana) sedangkan untuk yang perempuan sebaiknya ambil sikap bersimpuh (bajrasana).

- Yang ngotonin kalau bisa ambil sikap duduk, namun dalam situasi tertentu terkadang tidak bisa mengambil sikap duduk. Jika harus berdiri, maka berdirilah dengan tegap.

TANDA-TANDA KEMATIAN DALAM LONTAR BUDHAKECAPI

Buku Salinan Dan Terjemahan Lontar Usadha Budha Kecapi bisa diperoleh di Shopee:

https://shopee.co.id/product/157589676/3183742083?smtt=0.157591660-1612417254.9


Lontar Budhakecapi merupakan salah satu lontar sesana balian, dalam lontar Budhakecapi banyak dibahas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang balian, baik sehubungan dengan pengobatan sampai pada tatacara menerima upah bagi seorang balian.


Budhakecapi sesungguhnya merupakan nama seorang balian tersohor yang sudah mendapatkan panugrahan dari Hyang Nini Dalem (Bhatari Dhurga), jadi Beliau sangat mengetahui dan paham akan sesananing balian.


Di dalam lontar Budhakecapi dibahas mengenai 2 orang balian yang sangat hebat (Klimosadha dan Klimosadhi), namun pada suatu saat mereka gagal dalam menyembuhkan pasiennya sehingga memutuskan menemui Budhakecapi untuk berguru.


Dalam proses berguru tersebutlah Budhakecapi menyampaikan banyak hal sehubungan dengan dunia balian, baik itu: sesananing balian, sumber penyakit beserta cara pengobatannya, bahan-bahan obat, mantram penyembuhan, dan bahkan sampai aturan penerimaan upah seorang balian.


Di dalam lontar Budhakecapi juga dibahas mengenai tanda-tanda kematian. Tanda-tanda kematian tersebut menjadi sangat penting karena sangat berkaitan erat dengan sesana seorang balian dalam membantu pasiennya.


Seorang balian tidaklah boleh memaksakan diri untuk menyembuhkan seseorang yang memang sudah saatnya di panggil oleh Tuhan karena hal itu menyalahi kodrat dan bisa mendapatkan kutukan, oleh karena itu seorang balian wajib mengetahui tanda-tanda kematian tersebut.


Berikut adalah beberapa tanda-tanda kematian yang termuat dalam lontar Budhakecapi:

TATACARA MATURAN PADA SAAT RAHINAN UNTUK KALANGAN UMUM

Maturan atau mebanten adalah suatu hal yang sudah biasa dilakukan oleh umat Hindu, khususnya umat Hindu di Bali. Maturan atau mebanten biasanya dilakukan ketika bertepatan dengan rahinan, sepeti misalnya: Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon, Anggara Kasih, Budha Cemeng, dll.


Maturan atau mebanten merupakan suatu hal yang dilakukan sebagai bentuk bhakti umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maturan atau mebanten bukanlah dilakukan karena menginginkan suatu hal untuk dikabulkan, melainkan sebagai bentuk terima kasih atau syukur atas apa yang telah dianugrahkan Ida Sang Hyang Widhi dalam kehidupan ini.


Berikut adalah tatacara maturan atau mebanten pada saat rahinan untuk kalangan umum:


PERALATAN:

1. Upakara/Banten (Canang, Pasucian, Soda).

2. Tempat Tirta 

3. Tirta Ida (jika ada Toya Anyar)

4. Dupa

5. Bunga

6. Petabuh

7. Segehan


PERSIAPAN:

1. Memohon agar proses maturan atau mebanten bisa berjalan lancar

OṀ Awignam Astu Namah Siddham

OṀ Siddhir Astu-ya Namaḥ Svāhā

MAKNA SESELAT ATAU SESUUK SEHARI SEBELUM TUMPEK WAYANG

Sering sekali sehari sebelum Tumpek Wayang umat Hindu, khususnya umat Hindu di Bali melakukan upacara maseselat atau masesuuk. Seselat atau sesuuk merupakan pandan berduri yang dipotong panjangnya kira-kira 10cm dan dioleskan pamor (kapur sirih), dimana pamor (kapur sirih) yang dioleskan membentuk tanda Tampak Dara (+).

Sehari sebelum Tumpek Wayang juga sering disebut dengan Dina Kala Paksa, di beberapa tempat juga disebut dengan Dina Pemagpag Kala. Umat Hindu di Bali meyakini sehari sebelum Tumpek Wayang atau Dina Kala Paksa sebagai hari yang tenget (angker), biasanya pada Dina Kala Paksa ini pantang dilaksanakan Ngewangun Yadnya Ayu.

Apa fungsi dan makna memasang seselat atau sesuuk?

Seselat atau sesuuk biasanya dipasang di setiap Pelinggih dan bangunan area rumah, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, seselat atau sesuuk terbuat dari pandan berduri yang dioleskan pamor (kapur sirih) yang membentuk Tampak Dara (+), pandan berduri merupakan simbol dari Kala dan Pamor (kapur sirih) melambangkan Dharma, jadi makna dari pemasangan seselat atau sesuuk adalah untuk menetralisir unsur-unsur baruk (unsur Kala) dari Dina Kala Paksa.

Pada Dina Kala Paksa atau sehari sebelum Tumpek Wayang, selain memasang seselat atau sesuuk, setiap penghuni rumah juga dioleskan dengan pamor (kapur sirih) pada bagian ulu hati dengan tanda Tampak Dara (+). Tujuannya juga sama yaitu untuk menetralisir unsur-unsur buruk dari Dina Kala Paksa.

FUNGSI SESARI DAN TUJUAN MENGHATURKAN SESARI

Sering sekali setiap umat Hindu (khususnya Hindu Bali) melakukan persembahyangan didahului dengan menghaturkan canang, dan di atas canang senantiasa diisi uang yang sering disebut dengan sesari.

Umat lain sering mengatakan, umat Hindu Bali sering menombok Tuhan-nya! Karena sering menghaturkan uang. Sesungguhnya apa fungsi sesari?

Sesari sesungguhnya bukanlah persembahan kepada Tuhan, karena sudah jelas dinyatakan dalam Bhagavad Gita 9.26 sebagai berikut:
“Pattram puspam phalam toyam 
Yo me bhaktya prayacchati 
Tad aham bhakty-upahrtam 
Asnami prayatatmanah”

Artinya:
Siapapun yang sujud mempersembahkan daun, bunga, buah, atau air sepenuh bhakti kepada-KU, persembahan cinta, persembahan dari hati yang suci murni itu akan AKU terima.