Senin, 14 September 2020

TATACARA NGANTEB BAGIAN 6.2, ARACANA DEWA UPASAKSI, SAMBUNGAN DARI BAGIAN 6.1

URUTANNYA:

ARCANA DEWA UPASAKSI 10. Puja Brahma Stawa (Genta, Sekar) 11. Merajan, Tiga Guru Stawa (Genta, Sekar) 12. Ring Pura Dalem (Genta, Sekar) 13. Ring Pura Desa (Genta, Sekar) 14. Ring Pura Puseh (Genta, Sekar) 15. Ring Pura Ulun Danu, Pasiraman Utawi Beji (Genta, Sekar) 16. Ring Pura Praja Pati, Praja Pati Stawa (Genta, Sekar) 17. Samodaya Stawa (Genta, Sekar) PUJA PRANAMYA LAN TARPANA SAKABUAT 1. Puja Pranamya (Genta, Sekar) 2. Toya Tarpana (Genta, Tirta, Paketisan) 3. Angaturi Asep Ring Bhatara (Dhupa/Pasepan)

TATACARA NGANTEB BAGIAN 6.1, ARACANA DEWA UPASAKSI, BERSAMBUNG KE BAGIAN 6.2

 URUTANNYA:

ARCANA DEWA UPASAKSI 1. Maketis Ke Sanggar (Paketisan, Tirta Pabersihan) 2. Utpati Mwang Sthiti Maring Sanggar (Sekar, Amusti Karana) 3. Surya Stawa (Genta, Sekar) 4. Akasa Stawa (Genta, Sekar) 5. Pertiwi Stawa (Genta, Sekar) 6. Brahman Stawa (Genta, Sekar) 7. Saraswati Stawa (Genta, Sekar) 8. Khayangan Stawa (Genta, Sekar) 9. Candra Stawa, Ritatkala Purnama/Tilem (Genta, Sekar)

TATACARA NGANTEB BAGIAN 5, PEMANGKU MABERSIH RAGA DAN MABIJA

URUTANNYA:

PEMANGKU MABERSIH RAGA LAN MABIJA 1. Melukat Raga (Tirta, Paketisan) 2. Mabija (Ambil Wija, Cakup Antuk Tangan Kalih) 3. Puter Wija Ping Tiga Antuk Jari Manis 4. Apasang Wija 5. Malih Matirta Ping Tiga (Tirta, Paketisan)

Senin, 07 September 2020

TATACARA NGANTEB BAGIAN 4, STHITI TIRTHA PABERSIHAN

URUTANNYA:

STHITI TIRTA PABERSIHAN 1. Ngawit Sthiti Tirta Pabersihan (Sekar, Amusti Karana) 2. Apsu Dewa, Ngawit Ngastawa Bhatara Gangga 3. Panca Aksara Stawa (Genta, Sekar) 4. Ngaskara Tirta (Sekar, Amusti Karana) 5. Sapta Tirta Stawa (Sekar, Amusti Karana) 6. Udakanjali (Amusti Karana) 7. Ketisin Tirta Ring Sangku Ke Sangkune (Tirta, Paketisan) 8. Sthiti Mantra (Sekar, Amusti Karana) 9. Stawa Bhatara (Genta, Sekar) 10. Ayur Wrdhi Mertyunjaya Stawa (Genta, Sekar)

TATACARA NGANTEB BAGIAN 3, NGASKARA GENTA/BAJRA DAN PENGAKSAMA

URUTANNYA:

NGASKARA GENTA 1. Gambel Genta, Raris Siratin Tirta (Genta, Tirta) 2. Asepin Genta Antuk Dhupa (Genta, Dhupa) 3. Dagingin Genta Antuk Sekar (Genta, Sekar) 4. Dagingin Genta Antuk Wija (Genta, Wija) 5. Ngaskara Genta (Genta, Sekar) 6. Pengaksama (Genta, Sekar)

TATACARA NGANTEB BAGIAN 2, UTPETI TIRTHA PABERSIHAN

URUTANNYA:

UTPETI TIRTA PABERSIHAN 1. Ngaskara Sangku (Mersihin Sangku, Ukupin Sangku) 2. Nagingin Toya Ring Sangku (Toya Anyar) 3. Dasa Aksara (Sekar, Amusti Karana) 4. Ngeranjingang Puspa, Ghandaksata, Wija, Dhupa Ring Sangku 5. Tunggalakena Jnana Maring Bhatara (Sekar, Amusti Karana) 6. Gurit Ikang Toya, Rajah Toya Antuk Aksara (Sedana Sekar) 7. Puter Ikang Toya (Murwa Daksina) Ping Tiga (Sedana Sekar) 8. Penutup Pinaka Apaled Dasar Tirta (Sekar, Amusti Karana) 9. Mantranin Paketisan (Gamel Paketisan antuk tangan kalih) 10. Rajah Ongkara Amrtha Ring Toya Sedana Paketisan 11. Utpeti Toya Ring Sangku (Sekar, Amusti Karana) 12. Dewa Pratistha (Sembah Puyung Marep Ring Toya/Sangku) 13. Gangga Amrtha Stawa (Sekar, Amusti Karana)

TATACARA NGANTEB BAGIAN 1, TATA TITINING LUNGGUH MAMUJA

URUTANNYA: TATA TITINING LUNGGUH MAMUJA 1. Wasuh Tangan 2. Makekurah 3. Masila Den Apened 4. Karo Sodana/Mersihin Tangan 5. Pranayama 6. Mantranin Sariranta (Puyung, Amusti Karana) 7. Asthiti Akena Sang Hyang Ongkara 8. Mantranin Dhupa Wiadin Pasepan (Gambel Dupa Lan Sekar) 9. Ukup Rumuhun Tangan Kalih Ring Dhupa 10. Mantranin Sekar (Gambel Sekar) 11. Mantranin Wija/Bija (Gambel Wija) 12. Mantranin Ganda/Gandaksata (Gambel Ganda) 13. Angadegaken Sang Hyang Cilimanik (Sekar, Amusti Karana) 14. Nunas Panugrahan Bhatara Siwa (Sekar, Amusti Karana) 15. Ngadegang Bhatara Ring Raganta (Sekar, Amusti Karana) 16. Nyembah Sedana Sekar (Sekar, Sembah Ring Siwa Dwara) 17. Astra Mantra (Sekar, Amusti Karana) 18. Kuta Mantra (Puyung, Sembah Ring Siwa Dwara) 19. Ngaturin Segehan Ring I Bhuta Amangan Mantra (Segehan) 20. Matetabuh (Petabuhan)

FILSAFAT, MAKNA DAN TATACARA MEMPEROLEH TIRTHA WANGSUHPADA DAN BIJA/WIJA

Tirtha Wangsuhpada dan Bija/Wija biasanya didapatkan setelah selesai persembahyangan. Tirtha Wangsuhpada biasanya dicipratkan (Ketisin) di kepala 3x, diminum 3x, dan di raup di wajah 3x, sedangkan Bija/Wija biasanya dipasang di kening, tenggorokan dan juga dimakan.

Wangsuhpada berasal dari kata Wangsuh yang artinya basuh dan Pada yang artinya kaki. Karena Wangsuhpada berupa Tirtha (air), maka Wangsuhpada dapat diartikan Tirta (air) basuhan kaki Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Umat Hindu khususnya umat Hindu Bali tidak pernah muluk-muluk dalam meminta kepada Tuhannya, bahkan air basuhan kaki Tuhan sudah melebihi cukup sebagai bentuk anugerah-Nya. Cara memperoleh Tirtha Wangsuhpada bukanlah dengan benar-benar membasuh kaki Tuhan ataupun dengan membasuh sebuah Archa atau Pratima yang dianggap sebagai simbul Tuhan, akan tetapi dengan cara memohonkan dan meyakini bahwa anugerah Tuhan berupa Tirtha Wangsuhpada sudah dianugerahkan melalui Media air yang sudah disiapkan sebelumnya dan selanjutnya disebut Tirtha Wangsuhpada. Sedangkan Bija atau Wija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau Wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan, Mabija/Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an dalam diri. Bija atau Wija dibuat dari beras yang sudah dicuci bersih sebelumnya dan disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh atau tidak patah (aksata). 

MAKNA DAN CARA MEMBUAT TIPAT DAMPULAN

Tipat Dampulan merupakan salah satu tipat yang sangat berkaitan erat dengan Kajeng Kliwon, apa makna Tipat Dampulan? Dan kenapa dihaturkan pada saat Kajeng Kliwon?

Tipat Dampulan merupakan sebuah Tipat yang bentuknya menyerupai anak penyu (kura-kura), dibuat sedemikian rupa sebagai cerminan Sundaram (keindahan) dalam sebuah upakara. Makna dari Tipat Dampulan adalah sebagai simbol sifat kedewasaan diri dalam menjalani hidup, segala pengalaman hidup baik suka maupun duka, manis maupun pahit, kebahagiaan dan bahkan kesengsaraan harus diterima dengan lapang dada. Kematangan jiwa sangat dipengaruhi oleh segala usaha dan keiklasan dalam menerima dan kesadaran akan hikmah dari setiap kejadian dalam hidup, dan semua itu tidak terlepas dari segala Karma, baik dari kehidupan saat ini maupun dari kehidupan sebelumnya. Semua sifat kedewasaan tersebut tercermin dari pengalaman hidup anak penyu (kura-kura), semenjak masih berupa telur sudah ditinggalkan dan menetas sendiri di pesisir pantai, setelah menetas langsung berjuang untuk mencapai air, mencari makan, dan bertumbuh mandiri. Pengalaman hidup anak penyu (kura-kura) tersebut merupakan lambang kedewasaan dan kematangan jiwa yang kemudian dijadikan simbol upakara yang disebut Tipat Dampulan. Kenapa Tipat Dampulan dihaturkan pada saat Kajeng Kliwon?

SEGEHAN DAN KAJENG KLIWON DALAM PERSPEKTIF ATAU SUDUT PANDANG SASTRA

Segehan berasal dari kata sege atau dalam bahasa jawa kuno sego yang artinya nasi, segehan adalah suguhan, dalam hal ini disuguhkan kepada Bhutakala atau sering juga disebut sebagai Ancangan iringan Para Bhatara dan Bhatari.

Bhutakala berasal dari kata Bhuta yang artinya pengisi semua ruang yaitu Panca Mahabhuta, sedangkan Kala adalah perputaran waktu sehingga terciptalah kehidupan di mayapada ini. Segehan juga dapat diartikan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan palemahan atau ciptaan Ida Sang Hyang Widhi yang lain. Dengan segehan diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatif dari ruang dan waktu, yang tak lain adalah akumulasi dari kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Segehan sangat berkaitan erat dengan Kajeng Kliwon yaitu merupakan pertemuan antara tri wara Kajeng dengan panca wara Kliwon yang diyakini sebagai hari baik, dimana pada saat Kajeng Kliwon diyakini energi alam semesta (Bhuwana Agung) terealisasi ke dalam Bhuwana Alit.

MAKNA BANTEN SAIBAN DAN MEMUNJUNG, IMPLEMENTASI LANGSUNG DARI KITAB SUCI WEDA/VEDA

Banten Saiban dan Memunjung mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Hindu di Bali, Banten Saiban dan Memunjung biasanya dilakukan setelah selesai memasak dan sebelum makan, diawali dengan Banten Saiban dan dilanjutkan dengan Memunjung.

Banten Saiban atau sering juga disebut Banten Jotan merupakan sebuah upakara kecil yang dipersembahkan setelah selesai memasak. Banten Saiban atau Banten Jotan sering juga disebut dengan Yadnya Sesa. Banten Saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap Anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan Ambeg Parama Arta yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Tujuan dari Banten Saiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang telah diberikan Ida Sang Hyang Widhi kepada kita dalam bentuk Yadnya. Dalam hal ini Yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Adapun landasan dari pelaksanaan Banten Saiban adalah sesuai yang tertuang dalam Bhagavad Gita III.13: "YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT" Artinya: "Para Penyembah Tuhan Dibebaskan Dari Segala Jenis Dosa Karena Mereka Makan Makanan Yang Dipersembahkan Terlebih Dahulu Untuk Korban Suci (Yadnya). Orang Yang Menyiapkan Makanan Untuk Kenikmatan Indria-Indria Pribadi, Sebenarnya Hanya Makan Dosa Saja". Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Banten Saiban, sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta: 1. Pertiwi(tanah), biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman. 2. Apah(Air), ditempatkan pada sumur atau tempat air. 3. Teja(Api), ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor. 4. Bayu, ditempatkan pada beras, bisa juga ditempat nasi. 5. Akasa, ditempatkan pada tempat sembahyang (pelangkiran,pelinggih, dll). Sedangkan di dalam Manawa Dharmasastra III.68 dan III.69 disebutkan: ada 5 tempat yang wajib dilakukan Yadnya, Kelima tempat tersebut disebut sebagai tempat dimana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari dalam proses memasak, karena secara sengaja atau tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tumbuh-tumbuhan di tempat-tempat tersebut. Berikut adalah kutipannya: “PANCA SUNA GRHASTHASYA CULLI PESANYU PASKARAH, KANDANI CODAKUMBHACCA BADYATE YASTU WAHAYAN. TASAM KRAMENA SARWASAM NISKRTYASTHAM MAHARSIBHIH, PANCA KLRPTA MAHAYAJNAH PRATYAHAM GRHAMEDHINAM” Artinya: “Seorang Kepala Keluarga Mempunyai Lima Macam Tempat Penyemblihan Yaitu Tempat Masak, Batu Pengasah, Sapu, Lesung Dan Alunya, Tempayan Tempat Air, Dengan Pemakaiannya Ia Diikat Oleh Belenggu Dosa.

KEINDAHAN SUNGAI AYUNG DI TENGAH KOTA DENPASAR, HIDDEN CANYON DENPASAR