Rabu, 21 Juli 2021

FUNGSI DAN MAKNA PERAYAAN TUMPEK KANDANG

Umat Hindu khususnya Umat Hindu di Bali mungkin sudah tidak asing dengan kata Tumpek. Tumpek merupakan Awal dan Akhir karena sangat erat kaitannya dengan kalender Hindu Bali. Terdapat sebanyak 30 Wuku, dan juga ada siklus Saptawara dan Pancawara di dalam kalender Bali. Antara Saptawara terakhir (Saniscara) bertemu dengan Pancawara terakhir (Kliwon) inilah disebut dengan Tumpek yang datangnya setiap 35 hari. Akhir itulah sebagai penanda akan memasuki awal dari siklus baru dalam kalender Bali.

Tumpek Kandang sering juga disebut Tumpek Wewalungan atau sering juga disebut Tumpek Uye, merupakan hari suci pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau yang lumrah disebut dengan Rare Angon.

Jadi sudah cukup jelas bahwa perayaan hari Tumpek Kandang bukanlah untuk memuja binatang, melainkan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau sering juga disebut Sang Pengembala Mahluk.

Didalam Lontar Sunarigama dinyatakan sebagai berikut:

"Saniscara Kliwon Uye Pinaka Prakertining Sarwa Sato".

Artinya:

"Pada hari saniscara kliwon uye hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan".

Secara sekala hewan sangatlah penting dan berguna untuk kehidupan manusia, baik itu membantu dalam kegiatan kehidupan manusia maupun sebagai sumber pangan.

Hindu mengajarkan cinta kasih ke semua mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan itulah salah satu hal yang melandasi mengapa diadakan perayaan Tumpek Kandang.

Secara niskala perayaan Tumpek Kandang berfungsi untuk memohon agar kita sebagai manusia dijauhkan dari sifat-sifat buruk kebinatangan yaitu Rajas atau sifat ambisi, dan Tamas atau sifat malas. Tentunya bukan untuk menghilangkan, akan tetapi mengembalikan ke porsi yang semestinya dan tentunya baik untuk kehidupan.

Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan:

"Yapwan Tamah Magong Ring Citta, Ya Hetuning Atma Matemahan Triak, Ya Ta Dadi Ikang Dharmasadhana Denya".

Artinya:

"Apabila tamah yang besar pada citta, itulah yang menyebabkan atma menjadi binatang, ia tidak dapat melaksanakan dharma olehnya".

Dari kutipan Lontar diatas, maka diharapkan manusia terbebas dari sifat-sifat buruk binatang agar mampu menjalankan dan mengamalkan Dharma dalam kehidupan. 

Salam Rahayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar