Minggu, 13 Desember 2020

FILSAFAT ARI-ARI DAN TATACARA MENANAM ARI-ARI

FILSAFAT ARI-ARI

Ketika terjadi sebuah kelahiran dalam keluarga Hindu Bali, sering kita jumpai sebuah tempat menanam ari-ari yang diatasnya diisi tabunan api dan sanggah, hal ini sudah biasa dilakukan secara turun-temurun dan tentunya memiliki landasan sastra.

Berdasar kepercayaan Hindu Bali, ada empat saudara yang mengikuti saat proses kelahiran yang disebut dengan Sang Catur Sanak. Oleh karena itu ada prosesi ritual khusus terkait dengan Sang Catur Sanak, salah satunya adalah menanam ari-ari.

Dalam Lontar Tutur Rare Angon disebutkan sebagai berikut:

“Nihan tegesin katatwaning ari-ari ika, pinaka sawa, karananing ari-ari ika kawangsuh den abersih, mabungkus antuk kasa madaging anget-anget, mawadah klapa, klapa ika mawak padma, raris mapendem, ring luhuring amendem madaging kembang wangi, ring sandingnya madaging baleman mwang sundar, sanggah”.

Artinya:

“Inilah makna filsafat ari-ari, ari ari itu diumpakan sebagai mayat, makanya ari-ari itu harus dicuci atau dimandikan hingga bersih, dibungkus dengan kain kafan (kasa) yang berisi rempah-rempah, berwadahkan kelapa, kelapa itu sebagai padma, lalu dipendam, diatas pendaman itu berisi kembang wangi, didekatnya berisi baleman (tabunan api), sundar (pelita/lampu), dan sanggah”.

Selanjutnya disebutkan:

“Sundar pawaking angenan, sanggah pawaking Prajapati, baleman pawaking pangesengan sawa, ari-ari pawaking sawa”.

Artinya:

“Sundar itu simbul dari angenan (pelita/api ketika upacara ngaben), sanggah melambangkan Prajapati, baleman (tabunan api) simbul dari pembakaran mayat, ari-ari sebagai mayat”.

Selanjutnya disebutkan:

“Lawasnya anggawe baleman abulan pitung dina, yan tan samangkana, tan sida gseng sawa ika”.

Artinya:

“Adapun lama dari waktu pembuatan baleman tersebut adalah 1 bulan 7 hari (42 hari), apabila tidak demikian, tidak akan terbakar habis mayat itu”.

Dari pemaparan di atas jelas dikatakan adalah proses penanaman ari-ari dan disertai tabunan api diatasnya adalah proses ngeseng (pembakaran/kremasi) pada ari-ari, yang tidak ubahnya sebagai pembakaran mayat.

Lama waktu prosesnya adalah 42 hari, atau sampai akambuhan (prosesi bayi 42 hari). Dan biasanya pada prosesi bayi akambuhan diawali dengan caru, yang memiliki fungsi pembersihan segala hal negatif atas proses ngeseng ari-ari tersebut.


TATACARA MENANAM ARI-ARI

Pertama-tama siapkan sebuah periuk tanah yang berisi tutup untuk tempat ari-ari, untuk membawa ari-ari pulang dari tempat persalinan, setelah sampai dirumah dilanjutkan dengan mencuci ari-ari dengan air bersih, gunakan baskom atau ember baru. Sang ayah harus membersihkannya dengan bersih, menggunakan kedua tangan, tanpa perasaan jijik dan dilakukan dengan perasaan penuh syukur dan kasih sayang. Setelah bersih lalu dibilas dengan air kumkuman (air bunga). 

Siapkan sebuah kelapa ukuran besar yang masih lengkap dengan kulitnya, lalu dipotong dan dikeluarkan airnya. Pada bagian atas kelapa (bagian tutupnya) ditulis aksara Ah yang melambangkan Akasa, dan pada bagian bawahnya ditulis aksara Ang yang melambangkan Pertiwi.

Dalam hal ini bertujuan untuk menyatukan Akasa dan Pertiwi guna memberikan keseimbangan perjalanan si bayi.

Setelah dicuci bersih, kemudian ari-ari dimasukkan ke dalam kelapa, diisi dengan 1 kwangen yang berisi 11 keping uang kepeng (Jinah Bolong) yang diletakan di atas ari-ari, 1 potong lontar atau ental yang ditulis aksara Ongkara, 1 ikat duri-durian (3 macam duri), rempah-rempah (anget-angetan), dan wewangian. Terakhir bugkus dengan kain kafan (kasa).

Siapkan atau buat sebuah lubang untuk menanam ari-ari, tempat menanamnya disesuai dengan jenis kelamin si bayi. Jika si bayi laki-laki, ari-arinya ditanam di sebelah kanan pintu kamar, sedangkan jika bayinya perempuan, ari-arinya ditanam di sebelah kiri pintu kamar (dilihat dari dalam kamar).

Selanjutnya dengan sarana dupa memohon perlindungan dan amertha ke hadapan Sang Hyang Ibu Pertiwi dengan mantram:

Om Ang Sri Basundari Jiwa Amertha Trepti Paripurna Ya Namah Swaha. 

Om Pukulun Sang Hyang Ibu Pertiwi, Pinaka Ngulun Aminta Sih Ripadan Sira Bhatara, Ingsun Angengkap Pertiwi, Ngulati Amendem Ari-Ari, Tan Kenang Sira Keletehan, Rinaksanan Denira Sang Catur Sanak, Manadi Pageh Uripe Si Jabang Bayi,

Om Sidhi Rastu Ya Namah Swaha.

Setelah itu sambil meletakkan kelapa yang sudah berisi ari-ari ke dalam lubang, ucapkan mantram (dalam hati):

Om Presadha Stiti Sarisa Sudha Ya Namah

Ong Sang Ibu Pertiwi Rumaga Bayu, Rumaga Amertha Sanjiwani, Ngamertanin Sarwa Tumuwuh, Mangda Dirgahayu Dirgayusa Si Jabang Bayi Nutugang Tuwuh.

Dilanjutkan dengan mengubur kelapa tersebut, diatasnya diletakkan baleman (tabunan api), biasanya diatasnya ditutup menggunakan sangkar ayam (guwungan), fungsi secara sekala agar ari-ari tersebut tidak terinjak saat dilewati, sedangkan secara niskala sangkar ayam bertujuan untuk menolak bala. Selain itu juga ditanam sebuah pohon pandan berduri yang merupakan simbul penolak bala. Selanjutnya dipasang sundar (pelita/lampu), dan di hulunya dipasang sanggah.

Bila sudah selesai proses menanam ari-ari, suguhkan segehan beralaskan daun taru sakti (dapdap) pada ari-ari, sebanyak empat tanding yang merupakan persembahan kepada Sang Catur Sanak, berupa nasi kepelan putih satu tanding dengan lauknya garam menghadap ke timur, nasi kepelan merah satu tanding dengan lauk bawang menghadap ke selatan, nasi kepelan kuning satu tanding dengan lauk jahe menghadap ke barat, dan nasi kepelan hitam satu tanding dengan lauk uyah areng menghadap ke utara. Mantranya: 

Ong Sang Catur Sanak, Empu Semeton Jrone Sang Rare, Mangde Pageh Angemit, Mangda Pageh Uripe Sang Rare. 

Kemudian percikkan tetabuhan berem dan arak. Lakukan ritual menghaturkan segehan ini setiap rahinan jagat, kliwon, serta pada saat dedinan (petemuan dina kelahiran si bayi). Untuk setiap setiap harinya dihaturkan banten nasi segenggam di atas daun dapdap dengan lauk garam dan arang.


Salam Rahayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar