Jumat, 31 Juli 2020

MAKNA UPAKARA/BANTEN BESERTA ETIKA MEMBUAT UPAKARA/BANTEN


Umat Hindu di Bali tidak pernah terlepas dari Upakara/Banten dalam setiap pelaksanaan upacara yadnya yang dilaksanakan, seperti yang kita ketahui bersama ada tiga klasifikasi utama tingkatan Upakara/Banten disesuaikan dengan kemampuan dari yang menggelar upacara yadnya.

Adapun tiga klasifikasi tingkatan Upakara/Banten tersebut adalah: Nista, Madya dan Utama. Nista yang dimaksud bukanlah Nista dalam konotasi negatif, melainkan Nista yang memiliki makna inti/pokok. Sedangkan Madya memiliki makna menengah dan Utama bermakna persembahan yang sempurna.

Dari tiga klasifikasi tingkatan tersebut, masing-mansing tingkatan diklasifikasikan kembali menjadi 3 sub klasifikasi, yaitu: klasifikasi untuk Nista menjadi Kanistaning Nista, Madyaning Nista dan Utamaning Nista. Klasifikasi untuk Madya menjadi Kanistaning Madya, Madyaning Madya dan Utamaning Madya. Sedangkan klasifikasi untuk Utama menjadi Kanistaning Utama, Madyaning Utama dan Utamaning Utama.

Upakara/Banten merupakan simbul-simbul suci Ida Sang Hyang Widhi, jadi bahan-bahan dari Upakara/Banten tersebut wajib menggunakan bahan-bahan yang Sukla yaitu bersih dan yang paling utama suci. Selain itu, dari proses awal sampai akhir pembuatan Upakara/Banten juga wajib menerapkan sikap asuci laksana, dimana tujuannya tiada lain adalah, karena kita menghaturkan Upakara/Banten kepada Ida Hyang Maha Suci, maka segala yang kita persembahkan juga wajib bersifat suci.

Adapun etika ketika membuat Upakara/Banten adalah sebagai berikut:
  1. Ketika membuat Upakara/Banten wajib menerapkan Raja Yoga yaitu tidak banyak bicara dan mengheningkan pikiran, dalam hal ini hanya bicara seperlunya agar tidak sampai Upakara/Banten yang dibuat terkena percikan air ludah yang menyebabkan Upakara/Banten tersebut menjadi cuntaka.
  2. Ketika membuat Upakara/Banten wajib bersikap asuci laksana, diantaranya: diawali mandi terlebih dahulu, memakai pakaian yang bersih dan rapi, sikap duduk tidak boleh sembarang seperti: kaki tidak boleh metajuh masuku tunggal (selojoran) agar bahan-bahan dari Upakara/Banten tidak terkena kaki, rambut tidak boleh terurai dan wajib diikat rapi agar Upakara/Banten tidak terkena oleh rambut dan menjadi cuntaka.
  3. Ketika seorang wanita kacuntakan atau datang bulan sebaiknya tidak membuat Upakara/Banten.
  4. Jika membuat Upakara/Banten yang cukup besar patut membuat setidaknya Banten Tetukon atau kalau bisa Pejati sebagai pendamping yang ditujukan kepada Sang Hyang Tapeni, memohon tuntunan dan anugrah Ida Sang Hyang Tapeni agar Tan Kneng Cakrabawa (kutukan).
Upakara/Banten merupakan buah karya dari Jnana yang sarat akan makna, selain itu dibuat sebagai bentuk Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upakara/Banten juga merupakan bentuk hasil pekerjaan (Karma) sebagai pelayanan tanpa pamrih yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan proses pembuatan Upakara/Banten dilakukan dengan penerapan Raja Yoga. Jika dikaitkan dengan Catur Marga yaitu empat jalan memuliakan dan mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka sesungguhnya umat Hindu di Bali dalam setiap pelaksanaan upacara yadnya sudah menerapkan seluruh bagian dari Cartur Marga yaitu: Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Raja Yoga.

Upakara/Banten merupakan aspek penting dalam pelaksanaan sebuah upacara yadnya, jadi jangan pernah memandang sebelah mata terhadap Upakara/Banten, ingatlah bahwa proses sebuah upacara yadnya sudah dimulai sejak dibuatnya Upakara/Banten itu sendiri.

Salam Rahayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar