MANTRAM PUJA PENGASTAWA AKASA STAWA BESERTA ARTINYA

 

MANTRAM PUJA PENGASTAWA SURYA STAWA BESERTA ARTINYA

 

KARMA BAIK KENDARAAN TERMEWAH MENUJU ALAM PENANTIAN (SWAH LOKA)

Ketika melihat sebuah Upacara Ngaben sampai menghabiskan ratusan juta dan bahkan milyaran apa yang terlintas di benak anda?

Apakah dengan upacara besar tersebut sudah pasti menempatkan orang yang meninggal tersebut pada posisi yang paling sempurna di alam penantian?

Alam penantian, begitulah kita menyebutnya! Kenapa alam penantian? Karena menurut keyakinan Agama Hindu, selama belum Moksah maka akan terlahir kembali untuk membayar hutang Karma.

Sesungguhnya besar dan kecilnya sebuah Upacara harus dilihat dari kemampuan dari pelakunya. Dan khusus untuk Upacara Ngaben, besar dan kecilnya tidak menentukan bagus dan tidaknya posisi dari orang yang meninggal.

Menurut keyakinan Agama Hindu, ada alam lain yang akan menanti setelah seseorang menutup usia. Alam yang termaksud adalah Bhur Loka, Bhuah Loka, dan Swah Loka.

Bhur Loka adalah tempat bagi Sang Atman ketika Badan Kasar (Stula Sarira) belum kembali ke masing-masing unsurnya (unsur-unsur Panca Maha Buta).

Bhuah Loka adalah tempat bagi Sang Atman ketika unsur-unsur Panca Maha Buta sudah hilang, yang tersisa masih Sukma Sarira (Badan Astral) dan Antah Karana Sarira (Badan Halus).

Untuk mencapai Swah Loka, Badan Astral (Sukma Sarira) harus kembali kepada unsurnya. Swah Loka merupakan alam penantian bagi Antah Karana Sarira (Badan Halus), bisa dikatakan Surga dan Neraka. Disini atman ditempatkan sesuai dengan Karmanya, dan menunggu untuk terlahir kembali (Punarbawa) sesuai dengan Karmanya.

Upacara Ngaben adalah sebuah Upacara yang bertujuan untuk pengembalian unsur-unsur Panca Maha Buta (Badan Kasar). Dalam hal ini Upacara Ngaben berfungsi untuk membersihkan Stula Sarira.

Selain itu Upacara Ngaben juga sebagai bentuk penghormatan dan bhakti preti sentana (keturunan) kepada yang Meninggal.

Setelah Upacara Ngaben ada satu lagi proses yaitu Upacara Mamukur yang bertujuan untuk membersihkan Badan Astral (Sukma Sarira).

Upacara Ngaben dan Upacara Mamukur tentu sangat membantu, misalnya jika yang meninggal hanya ditanam jasatnya, maka proses pengembalian unsur-unsur Panca Maha Buta akan berlangsung lama, dalam proses tersebut Sang Atman akan lama berada di Bhur Loka.

Begitu juga yang akan terjadi jika tidak dibantu dengan Upacara Mamukur, Sang Atman akan lama berada di Bhuah Loka dalam proses pengembalian Badan Astral.

Namun apakah dengan memberikan Upacara besar dapat memberikan tempat yang bagus bagi Sang Atman? TENTU TIDAK.

Semua itu kembali kepada Karma masing-masing. Jika memang Karmanya Baik, bahkan tanpa proses Upacara Ngaben dan Upacara Mamukur Sang Atman bisa mencapai Alam Penantian (Swah Loka) dan mendapatkan tempat yang baik di Alam Penantian dalam menunggu proses Punarbawa.

Yang perlu diingat dan ditekankan disini adalah Upacara Ngaben dan Upacara Mamukur hanya bersifat membantu mempercepat proses, namun hasil dan tempat yang akan didapatkan oleh Sang Atman adalah kembali kepada Karmanya.

Jadi tidak ada istilah semakin besar tingkatan Upacara yang diambil, maka semakin bagus Sang Atman mendapatkan tempat di Alam Penantian! Semua itu kembali kepada Karma masing-masing.

SEMAKIN BANYAK MENABUNG KARMA BAIK SELAMA HIDUP, SEMAKIN BAGUS TEMPAT DI ALAM PENANTIAN.

Terlahir di dunia ini adalah untuk membayar Hutang Karma, jadi jangan bikin Hutang lagi, dan usahakan untuk menabung Karma Baik.

Salam Rahayu.

ARTI DAN MAKNA POROSAN

Porosan merupakan simbul pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Utpeti (Pencipta), Sthiti (Pemelihara), dan Pralina (Pelebur).

Porosan terdiri dari:

Pinang sebagai lambang pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma (Pencipta).

Sirih sebagai lambang pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara).

Kapur sebagai lambang pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa (Pelebur).

Plawa atau Daun sebagai pembungkusnya, didalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan bahwa Plawa atau Daun merupakan lambang dari fikiran yang hening. 

Plawa atau Daun memiliki makna agar dalam melakukan pemujaan didasari dengan menumbuhkan fikiran yang suci dan hening, karena fikiran yang tumbuh dari kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menangkal pengaruh buruk dan nafsu duniawi.

Porosan merupakan lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pemujaan terhadap Sang Hyang Tri Murti sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia sehari-hari sebagai hal pokok, yaitu:

Pertama: Tercipta dan tumbuhnya segala sesuatu, baik fisik material maupun sepiritual.

Kedua: segala hal yang sudah tercipta dapat terpelihara dengan baik.

Ketiga: dapat mengatasi dan jika mungkin meniadakan sesuatu yang buruk dan menghambat.

Demikianlah mengapa dalam setiap upakara, Porosan selalu menjadi bahan pokok yang tak terlewatkan. Porosan bermakna untuk memohon tuntunan dan kekuatan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.

Salam Rahayu.

FUNGSI DAN MAKNA PERAYAAN TUMPEK KANDANG

Umat Hindu khususnya Umat Hindu di Bali mungkin sudah tidak asing dengan kata Tumpek. Tumpek merupakan Awal dan Akhir karena sangat erat kaitannya dengan kalender Hindu Bali. Terdapat sebanyak 30 Wuku, dan juga ada siklus Saptawara dan Pancawara di dalam kalender Bali. Antara Saptawara terakhir (Saniscara) bertemu dengan Pancawara terakhir (Kliwon) inilah disebut dengan Tumpek yang datangnya setiap 35 hari. Akhir itulah sebagai penanda akan memasuki awal dari siklus baru dalam kalender Bali.

Tumpek Kandang sering juga disebut Tumpek Wewalungan atau sering juga disebut Tumpek Uye, merupakan hari suci pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau yang lumrah disebut dengan Rare Angon.

Jadi sudah cukup jelas bahwa perayaan hari Tumpek Kandang bukanlah untuk memuja binatang, melainkan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau sering juga disebut Sang Pengembala Mahluk.

Didalam Lontar Sunarigama dinyatakan sebagai berikut:

"Saniscara Kliwon Uye Pinaka Prakertining Sarwa Sato".

Artinya:

"Pada hari saniscara kliwon uye hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan".

Secara sekala hewan sangatlah penting dan berguna untuk kehidupan manusia, baik itu membantu dalam kegiatan kehidupan manusia maupun sebagai sumber pangan.

Hindu mengajarkan cinta kasih ke semua mahluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan itulah salah satu hal yang melandasi mengapa diadakan perayaan Tumpek Kandang.

Secara niskala perayaan Tumpek Kandang berfungsi untuk memohon agar kita sebagai manusia dijauhkan dari sifat-sifat buruk kebinatangan yaitu Rajas atau sifat ambisi, dan Tamas atau sifat malas. Tentunya bukan untuk menghilangkan, akan tetapi mengembalikan ke porsi yang semestinya dan tentunya baik untuk kehidupan.

Di dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan:

"Yapwan Tamah Magong Ring Citta, Ya Hetuning Atma Matemahan Triak, Ya Ta Dadi Ikang Dharmasadhana Denya".

Artinya:

"Apabila tamah yang besar pada citta, itulah yang menyebabkan atma menjadi binatang, ia tidak dapat melaksanakan dharma olehnya".

Dari kutipan Lontar diatas, maka diharapkan manusia terbebas dari sifat-sifat buruk binatang agar mampu menjalankan dan mengamalkan Dharma dalam kehidupan. 

Salam Rahayu.

TATACARA NGATURANG PIODALAN ALIT (SAYUT PENGAMBEAN) DI MERAJAN UNTUK KALANGAN UMUM

TATACARA NGATURANG PIODALAN:

1. Tirta Wangsuhpada

Letakkan tempat tirta yang sudah diisi air dan tempat Wija/Bija yang sudah diisi beras pada Pelinggih Kamulan.

2. Ambil Sikap Duduk

Untuk yang laki-laki sebaiknya ambil sikap duduk bersila (padmasana) sedangkan untuk yang perempuan sebaiknya ambil sikap bersimpuh (bajrasana).

3. Memohon agar proses Piodalan bisa berjalan lancar.

OṀ Awignam Astu Namah Siddham

OṀ Siddhir Astu-ya Namaḥ Svāhā

4. Membersihkan kedua tangan atau Kara Sodana.

OṀ Śuddhā Māṁ Svāhā  (Tangan Kanan)

OṀ Ati Śuddhā Māṁ Svāhā  (Tangan Kiri)

5. Pranayama berfungsi untuk menenangkan diri dan berkonsentrasi.

Tarik nafas (Puraka), tahan napas (Khumbaka), keluarkan nafas (Recaka) (3x)

FUNGSI DAN MAKNA BANTEN BYAKALA ATAU BYAKAONAN BESERTA MAKNA BAGIAN-BAGIANNYA

Banten Byakala atau Byakaonan atau sering juga disebut Bayekala atau Bayekaonan mungkin sudah tidak asing lagi dikalangan umat Hindu, khususnya umat Hindu di Bali. Banten Byakala atau Byakaonan merupakan Banten yang difungsikan sebagai pangresikan (pembersihan), dimana Banten Byakala/Byakaonan ini tergolong dalam bentuk pembersihan secara lahiriah.

Banten Byakala dan Byakaonan pada prinsipnya memiliki fungsi sama yaitu sebagai simbol pembersihan, akan tetapi peruntukannya berbeda. Dimana Banten Byakala diperuntukkan untuk manusia sedangkan Banten Byakaonan untuk Dewata atau Palinggih dan tempat suci.

Perbedaan antara Banten Byakala dengan Banten Byakaonan terletak pada eteh-eteh (sarana) pabersihannya, dimana pada Banten Byakala menggunakan isuh-isuh sedangkan pada Banten Byakaonan menggunakan payasan pabersihan.

KESADARAN YADNYA DAN KONSEP YADNYA

Ketika mendengar kata Yadnya, apa yang terlintas dalam benak anda? Apakah “Gede Aturan Maka Gede Pinunas?” atau Besar yang kita haturkan maka besar pula yang akan kita dapat?

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai Kesadaran Yadnya, ada hal penting yang perlu diketahui ketika kita hendak melaksanakan Upacara Yadnya, yaitu mengenai konsep Yadnya itu sendiri adalah sebagai berikut:

“Agung ikang Upakara/Banten alah dening Puja Mantra” artinya: Seberapa besarpun Upakara/Banten yang dibuat tidak akan sempurna tanpa Puja Mantra, dalam hal ini Puja Mantra berfungsi sebagai pelengkap, sebab dalam membuat Upakara/Banten bisa saja ada kekurangan atau kelebihan dalam prosesnya pembuatannya, oleh karena itu dalam pelaksanaan Upacara Yadnya diperlukan Pemangku untuk nganteb atau Ida Sulinggih sebagai pemuput Upacara, terutama untuk upacara menengah keatas dimana menggunakan cukup banyak Upakara/Banten.

VIDEO TRADISI SAKRAL NGEREBONG MANGKU DI PURA PETILAN DESA PAKRAMAN KESIMAN (2 MEI 2021)

 

VIDEO TRADISI NGEREBONG DESA ADAT PAKRAMAN KESIMAN (2 MEI 2021)

 

MAKNA PENAMPAHAN GALUNGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TUGU KARANG ATAU SEDAHAN KARANG

Penampahan Galungan tentunya sangat erat kaitannya dengan Hari Raya Galungan, yaitu tepat sehari sebelum galungan pada hari selasa atau anggara wuku dungulan.

Apa sebenarnya makna dari Penampahan Galungan?

Penampahan Galungan merupakan hari turunnya Sang Kala Tiga, yaitu: Kala Galungan, Kala Dungulan, dan Kala Amangkurat yang kemudian berstana di Penunggun Karang/Sedahan Karang.

Kenapa di Penunggun Karang/Sedahan Karang?

Penunggun Karang/Sedahan Karang merupakan tempat berstananya Sang Kala Raksa, artinya segala yang bersifat Bhuta dan Kala berstana di Pelinggih Kala Raksa yang sering disebut Penunggun Karang atau Sedahan Karang.

MAKNA SUGIHAN JAWA DAN SUGIHAN BALI

Sugihan dikenal sebagai Upacara di Bali yang masih ada kaitannya dengan Hari Raya Galungan dan Kuningan, ada dua Sugihan yaitu Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Ketika mendengar kata Sugihan Jawa dan Sugihan Bali apa yang terlintas di benak anda?

Masyarakat Hindu Bali sudah tidak asing dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, namun sepertinya masih ada beberapa yang belum paham akan makna sebenarnya dari kedua Sugihan tersebut. 

Sugihan Jawa atau sering juga dikenal dengan Sugihan Jaba adalah sebuah kegiatan rangkaiang upacara dalam rangka menyucikan Bhuana Agung (makrokosmos) atau Alam Semesta. Sugihan Jawa ini jatuh pada hari Kamis Wage Wuku Sungsang.

Kata Sugihan Jawa berasal dari urat kata Sugi, yang artinya membersihkan, dan Jawa berasal dari kata Jawi yang dalam Bahasa Jawa kuno memiliki arti luar, begitu juga Jaba dalam Bahasa Bali yang memiliki arti sama yaitu luar. 

VIDEO CARA MUDAH NGASTORI ATAU NGADEGIN PUSPA ATAU SEKAH