FILSAFAT, MAKNA DAN TATACARA MEMPEROLEH TIRTHA WANGSUHPADA DAN BIJA/WIJA

Tirtha Wangsuhpada dan Bija/Wija biasanya didapatkan setelah selesai persembahyangan. Tirtha Wangsuhpada biasanya dicipratkan (Ketisin) di kepala 3x, diminum 3x, dan di raup di wajah 3x, sedangkan Bija/Wija biasanya dipasang di kening, tenggorokan dan juga dimakan.

Wangsuhpada berasal dari kata Wangsuh yang artinya basuh dan Pada yang artinya kaki. Karena Wangsuhpada berupa Tirtha (air), maka Wangsuhpada dapat diartikan Tirta (air) basuhan kaki Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Umat Hindu khususnya umat Hindu Bali tidak pernah muluk-muluk dalam meminta kepada Tuhannya, bahkan air basuhan kaki Tuhan sudah melebihi cukup sebagai bentuk anugerah-Nya. Cara memperoleh Tirtha Wangsuhpada bukanlah dengan benar-benar membasuh kaki Tuhan ataupun dengan membasuh sebuah Archa atau Pratima yang dianggap sebagai simbul Tuhan, akan tetapi dengan cara memohonkan dan meyakini bahwa anugerah Tuhan berupa Tirtha Wangsuhpada sudah dianugerahkan melalui Media air yang sudah disiapkan sebelumnya dan selanjutnya disebut Tirtha Wangsuhpada. Sedangkan Bija atau Wija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau Wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an/Kedewataan, Mabija/Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih ke-Siwa-an dalam diri. Bija atau Wija dibuat dari beras yang sudah dicuci bersih sebelumnya dan disarankan agar dapat menggunakan beras galih yaitu beras yang utuh atau tidak patah (aksata).  Berikut adalah tata letak menggunakan Bija/Wija: 1. Pada Anja Cakra, di antara dua alis sedikit di atas. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani), penempatan Bija/Wija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan. 2. Pada Wisuda Cakra, Di leher yaitu pada kerongkongan atau tenggorokan bagian luar, sebagai simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan. 3. Pada mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah, sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dan tumbuh-kembangnya benih ke-Siwa-an atau sifat Kedewataan dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup. Berikut adalah tatacara memperoleh Tirtha Wangsuhpada dan Bija/Wija: 1. Pertama-tama siapkan sebuah tempat Tirtha dan tempat Bija/Wija yang sukla dan tentunya bersih. 2. Isi tempat Tirtha denga air yang besih dan isi tempat Bija/Wija dengan beras yang sudah dicuci bersih. 3. Tempatkan di Pelinggih utama di tempat kita melakukan persembahyangan, lakukan sebelum melakukan persembahyangan. 4. Lakukan persembahyangan, pada saat persembahyangan berlangsunglah diyakini bahwa anugerah Ida (Tuhan) sudah di anugerahkan dalam bentuk Tirtha Wangsuhpada maupun Bija/Wija pada tempat yang sudah disiapkan dan diletakkan di Pelinggih tadi. 5. Selesai persembahyangan, ambil Tirtha Wangsuhpada dan Bija/Wija, kemudian mohonkan dan niatkan dengan iklas kehadapan Ida bahwa kita akan nunas Wangsuhpada Ida. Contoh: “Om Ngastuti Pakulun Paduka Bhatara ...(tempat melakukan persembahyangan), Mangda Ledang Paduka Bhatara Anugrahaken Tirtha Wangsuhpada, Anugrahaken Kerahayuan. Om Shidirastu Tat Astu Ya Namah Swaha”. 6. Selanjutnya pergunakan Tirtha Wangsuhpada seperti mencipratkan 3x, minum 3x, dan raup 3x, lanjutkan dengan Mabija/Mawija. 7. Setelah selesai Tirtha Wangsuhpada dan Bija/Wija dapat dilebar. Berikut adalah landasan sastra Tirtha dan Bija/Wija, dalam Lontar Aji Tatwa Kapandhitan dan juga dalam Lontar Magheswari Tatwa yang dirangkum dalam Lontar Tutur Rare Angon dijelaskan makna Tirtha dan Bija sebagai berikut: “Indik matirtha, maketis ping telu maksud ipun ngaturang pamarisudha ring kawitan”. Artinya: “Tatakrama matirtha, memercikan tiga kali maksudnya menghaturkan pembersihan kehadapan Bhatara Kawitan”. Selanjutnya disebutkan: “Sane tigang pasal malih manginum ping tiga, maksud ipun pangleburan I Tri Mala”. Artinya: “Yang tiga tahap lagi selanjutnya meminum tiga kali, bermakna melebur yang namanya Tri Mala (tiga kekotoran)”. Selanjutnya disebutkan: “Malih meraup ping tiga, maksud ipun mersihin I Catur Lokapala ring sarira”. Artinya: “Selanjutnya meraup tiga kali, maknanya membersihkan Sang Catur Lokapala pada badan”. Adapun filsafat Bija adalah sebagai berikut: “Awanan amangan wija 7 siki, maksud ipun bibit saking Sapta Tirtha, tan wenang remekaken, amangan mwang aneled juga, mangdaning sidaning urip, nguripang I Sapta Pramana, madewek uriping sajagat”. Artinya: “Maksud dari menelan Bija sebanyak 7 butir adalah merupakan simbul bibit yang berasal dari Sapta Tirtha, tidak boleh diremukan, akan tetapi dimakan dan juga ditelan, agar keberhasilan kehidupan terwujud, yang menghidupkan Sang Sapta Premana (tujuh kekuatan) yang merupakan jiwa dari jagat raya”. Demikianlah sedikit ulasan tentang Tirtha Wangsuhpada dan Bija/Wija, dumogi bermanfaat. Salam Rahayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar