Rabu Wage Wuku Klawu atau dalam Bahasa
Bali disebut Buda Wage Klawu atau yang lebih dikenal dengan istilah “Buda Cemeng Klawu”. Buda Cemeng Klawu
merupakan hari pemujaan terhadap Bhatara
Rambut Sedana yang melimpahkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Hal ini sering disebut sebagai piodalan
Ida Bhatara Rambut Sedana yang diperingati setiap 210 hari atau 6 bulan sekali
oleh masyarakat Hindu di Bali. Dalam tradisi agama Hindu di Bali, “Batara Rambut Sedana” dipuja sebagai “Dewi Kesejahteraan” yang
menganugerahkan harta kekayaan, emas-perak (sarwa mule), permata dan uang (dana)
kepada manusia.
Kegiatan peringatan “Sri Sedana” yang lazim disebut “Rambut Sedana” merupakan hari raya atau
odalan bagi uang maupun nafkah yang telah dianugerahkan Tuhan Yang Mahaesa
kepada umat Manusia. Dilihat dari arti katanya yaitu “Sri” artinya beras, dan “Sedana”
artinya uang atau dengan kata lain bagian dari nafkah, maka perayaannya
dilakukan di lingkungan rumah tangga dan juga pura di lingkungan desa adat.
Bahkan di Pura Besakih yang merupakan pura terbesar di Bali, juga terdapat Pura
Rambut Sedana yang merupakan hulu dari Pelinggih Rambut Sedana atau sering
disebut Sri Sedana yang ada di merajan keluarga di Bali.
Setiap pasar di Bali juga mempunyai
pelinggih atau Pura Bhatari Melanting
yang dihormati sebagai “Dewi Kemakmuran”
dan setiap hari Buda Cemeng Klawu akan dilakukan peringatan untuk mengucapkan
rasa syukur atas rejeki yang diperoleh yang ditujukan kepada Bhatara Rambut
Sedana. Buda Cemeng Klawu ini merupakan hari perayaan yang cukup penting bagi umat
Hindu khususnya di Bali. Sehingga Buda Cemeng Klawu ini lebih banyak dirayakan
oleh mereka yang membuka usaha perdagangan di Bali, misalnya pedagang di pasar,
toko sembako, pemilik warung, bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan yang
mengalirkan dana secara cepat dalam menjalankan perusahaan tersebut.
Di setiap tempat yang digunakan untuk
menyimpan uang diberikan sesajen khusus untuk menghormati Betara Sedana sebagai
rasa terima kasih atas pemberian-Nya. Ada satu hal unik dari perayaan ini,
yaitu dipercaya bahwa pada hari ini masyarakat Bali tidak diperbolehkan
menggunakan uang untuk hal-hal yang sifatnya tidak kembali berupa wujud barang,
misalnya membayar hutang atau menabung karena dipercaya uang/kekayaan tersebut
nantinya tidak dapat kembali selamanya dan menghilang oleh sifat tamak/serakah
kita sebagai manusia. Entah benar atau tidak, hal ini adalah mitos yang sangat
menarik untuk diyakini karena mengandung unsur yang sangat kental dengan budaya
tradisional masyarakat Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar